[ Ahli Teori & Praktisi Ruqyah]
Benar sekali bahwa ahli tauhid atau muwahhid atau seorang muslim yang bertauhid diberi kekuatan untuk meruqyah. Itu kaedah dasar. Tetapi tidak semua kasus santet, kesurupan, kejiwaan menyimpang, dan seterusnya sesingkat fikiran kita dalam mengatasinya. Tentu saja, sekali lagi, praktisi yang berpengalaman dan berilmu lebih tahu dibandingkan ahli teori. Dan tentu saja juga, ahli teori lebih sering mengomentari dibandingkan praktisi.
Sekali lagi saya ceritakan bahwa di sebuah pesantren , ada rahasia umum adanya kesurupan mengerikan hingga korban tertentu pun kadang sampai ke derajat gila kumatan. Pesantren tersebut mengajarkan ajaran yang shahih, bermanhaj shahih dan shahih shahih shahih. Tetapi ternyata dalam sekian kasus kesurupan (dan ini bukan kasus sihir santet), semua ustadz…once again…SEMUA ustadz tidak bisa melawannya. Apakah sekarang kita tuduh mereka tidak bertauhid? Semua wirid sudah mereka hafal. Sudah mereka praktekkan.
Yang pada akhirnya…ujung-ujungnya…mereka semua menyerah. Lalu memanggil praktisi ruqyah yang memiliki metode-metode ruqyah tidak sederhana. Maksud saya: tidak sekadar baca di telinga dan teriak ukhruj ukhruj. Menggunakan ketegasan di depan setan, perlawanan kuat, alat-alat tertentu yang bisa membantu dan tentu saja tawakkal kepada Allah Ta’ala. Ternyata -alhamdulillah- berhasil. Nah, terus, kok para ustadz yang tiap hari mengajarkan ilmu syariah ke para peserta didik tidak berhasil?
Dan tentunya, para ustadz tidak protes ‘kenapa antum melakukan ini dan itu?’ atau ‘kenapa tidak seperti kami?’ kepada sang praktisi ruqyah syar’i. Wong sudah syukur masalah besar semacam ini diselesaikan dengan izin Allah.
Mereka yang sekadar berteori dan protes sana-sini, bisa dipastikan justru bukan praktisi, dan tidak bermain di lapangan. Bahkan ada yang kemudian menuding para praktisi ruqyah syar’i menjadikannya sebagai bisnis dan job. Well, kalau disebut job, sebenarnya tidak masalah karena darurat dan hajat umat. Tetapi jika disebut ‘bisnis’, kita harus merinci kalam di sini. Kadang peruqyah diberi sangon besar sekali oleh keluarga korban sebagai rasa terima kasih. Kadang sangonnya kecil dan mereka terima.
Peruqyah yang diberi sangon besar juga dimaklumi; karena kadang saking besarnya rasa syukur dan terima kasih mereka terhadapnya. Kalau mau menoleh di lapangan, cermati bahwa ada di antara kasus santet menjalar berbulan hingga bertahun sampai pihak keluarga tertekan secara psikologi, sosial dan finansial. Namun, dengan izin Allah, melalui peruqyah ini, masalah dibereskan. Tudingan bahwa peruqyah syar’i berbisnis (dengan lirik negatif) adalah kezaliman. Mereka punya resiko meruqyah. Mereka juga perlu ongkos pulang pergi, yang terkadang pihak pemanggil ada di luar pulau bahkan. Mereka juga perlu modal untuk aksesoris ruqyah, semisal bahan-bahan dan zat tertentu, dan seterusnya.
Posisi penulis, bukanlah peruqyah pure (dari segi pekerjaan utama), melainkan sekadar pengajar dan pelajar. Tetapi, menimbang kisah-kisah nyata para peruqyah, berkomunikasi dengan mereka, dan bahkan juga pengalaman melakukannya, kemudian dibandingkan dengan kenyataan ahli teori, bisa saya katakan bahwa eksistensi peruqyah (yakni: spesialis di bidang ruqyah) sangat dibutuhkan di Indonesia. Ain , Hasad , Sihir, santet, pesugihan dan semacamnya di zaman ini jangan kita kira meredup. Justru SEMAKIN BANYAK, termasuk menjalar ke orang-orang kota bahkan. Dan para peruqyah syar’i, jangan kita kira mereka sekadar komat-kamit, beritual ini itu, lalu selesai dan dibayar begitu saja.
Mereka berdakwah di sana. Bukan saja keluarga korban yang didakwahi, melainkan setan itu sendiri. Sebagian setan dari kalangan jin bahkan Allah Ta’ala beri hidayah melalui mereka. Namun sebagian besar tetap kufur.
Juga jangan dikira mendakwahi keluarga yang terkena santet seorang anggotanya, atau sejak lama memakai atau menyimpan jimat, atau sejenisnya, gampang. Gampang kalau kita bicara di sini. Tapi kalau kita yang menghadapi, bisa jadi kita cuma bisa diam.
Setelah kalimat-kalimat di atas, kita pun perlu juga mengingatkan rekan-rekan yang konsentrasi di bidang ruqyah, bahwa mereka tetap harus giat mencari ilmu syariah, selain yang berkaitan dengan ruqyah. Jika mereka tidak mampu berbahasa Arab, mereka perlu belajar bahasa Arab juga. Jika ada di antara mereka buruk bacaan al-Qur’an-nya (dari sisi tajwid, bukan nada), maka WAJIB…sekali lagi WAJIB bagi mereka belajar memperbaiki bacaan tersebut. Karena para peruqyah adalah public figure, dan bahkan diperustadzkan seringkali. Maka janganlah terperdaya dengan sudah dipanggil sebagai ustadz namun ternyata masih punya kekurangan yang fatal. Urusan berjasa untuk umat adalah benar mereka punyai, namun tetap urusan ilmu: kewajiban atas setiap muslim.
Kemudian, ada pula kenyataan yang patut diketahui, bahwa kerap peruqyah itu lebih repot dibanding pengajar (ustadz). Kita sebagai penonton dan penikmat cerita happy ending, akan mengira bahwa setelah meruqyah, tidak ada apa-apa pastinya. Belum tentu. Setan adalah tukang balas dendam. Terkadang setelah pasukan setan jera menggangu korban, mereka justru menyerang peruqyah itu sendiri, atau bahkan anggota keluarganya. Ini bukanlah cerita rekaan, melainkan wajarnya kejadian.
Kalau boleh tanya:
“Jika semua ustadz bertauhid bisa mengatasi semua masalah ruqyah sesuai dengan tuntunan terbaik, maka mengapa para asatidzah di pesantren ahli tauhid tersebut menyerah dan menyerahkan perkara pada peruqyah berpengalaman? Apakah mereka minim tauhidnya?”
Atau lagi-lagi ini masalah ahli teori semata bertengkar dengan ahli teori sekaligus praktisi?